Monday, November 23, 2015

Pelajaran

Tamsil Umat

Ibu Guru berkerudung rapi tampak bersemangat di depan kelas sedang mendidik murid-muridnya dalam pendidikan Syari’at Islam.

Di tangan kirinya ada kapur, ditangan kanannya ada penghapus.
Ibu Guru berkata, “Saya punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus.

Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur!”, jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah
“Penghapus!”

Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti.

Ibu Guru mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan tangan kirinya, kian lama kian cepat.
Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan.

Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”.
Dan permainan diulang kembali. Maka pada mulanya murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk mengubahnya.

Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti.
Sang guru tersenyum kpd murid-muridnya.

“Anak-anak, begitulah ummat Islam. Awalnya kalian jelas dapat membedakan yg haq itu haq, yg bathil itu bathil. Namun kemudian, musuh-musuh ummat Islam berupaya melalui berbagai cara, untuk menukarkan yg haq itu menjadi bathil, dan sebaliknya.

Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kalian menerima hal tsb, tetapi karena terus disosialisasikan dg cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dg hal itu. Dan kalian mulai dapat mengikutinya.
Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika.”

“Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yg pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yg lumrah, sex pra-nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain.

Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Guru kpd murid-muridnya.

“Paham Bu Guru”

“Baik permainan kedua,” Ibu Guru melanjutkan.

“Bu Guru ada Qur’an, Bu Guru akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu “dijaga” sekelilingnya oleh ummat yg dimisalkan karpet.

Sekarang anak-anak berdiri di luar karpet.

Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah dan ditukar dg buku lain, tanpa memijak karpet?”

Murid-muridnya berpikir. Ada yg mencoba alternatif dg tongkat, dan lain-lain,tetapi tak ada yg berhasil.
Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur’an ditukarnya dg buku Filsafat materialisme.Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet.

“Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan menginjak-injak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasa pun tak akan rela kalau Islam dihina di hadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar".

Jika seseorang ingin membuat rumah yg kuat, maka dibina pondasi yg kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yg kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau pondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”

“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari’at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yg mereka inginkan.”

“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak, Bu Guru?” tanya mereka.

“Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan
sadar, lalu mereka bangkit serentak.

Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdo’a dahulu sebelum pulang…”

Anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dg pikiran masing-masing.

Friday, November 13, 2015

Liqo

LIQO ITU KEBUTUHAN KITA
kultwit oleh @af1_ (Afwan Riyadi)

Alhamdulillah kelompok halaqah nambah terus .. Walau sayang, yg lama anggotanya angot2an datangnya.

Saya ingin katakan bagi ikhwan akhwat yg datang liqo suka angot2an : Harusnya antum bersyukur; ada orang yg bersedia berbagi ilmu dgn antum

Sadarkah antum, murabbi/murabbiyah itu selalu memberikan waktunya untuk antum? Menyisihkan waktu bagi keluarganya?

Lalu dengan enteng, antum yg gak pernah membayarnya untuk mengajari antum itu berkata : afwan bang, ane gak bisa datang liqo.

Itu masih mendingan .. Malah lebih sering yg tanpa kabar berita. Hilang begitu saja.

Lalu sering banget terjadi; kemudian orang2 yg jarang datang liqo ini, bicara yang tidak2 terhadap murabbinya.

"MR ane gak peka. Masak ane gak pernah dateng liqo dibiarin aja, bukannya di telpon kek. Di SMS kek. Enggak dia diam aja. Mana ukhuwwahnya?"

Lalu mutung tanpa sebab, lalu bicara yg tidak2 tentang jama'ah .. Ini semua pangkalnya 1 : malas datang liqo dgn semua alasan2 yg dibuat2

Ada yg bilang males liqo karena murabbinya gak punya kafa'ah syariah. Saya ingatkan : ini liqo, bukan kelas di Ma'had.

Kalau mau faham syariah, ya ikut kuliah di Ma'had. belajarnya Intensif. Bayar. Masak mau jadi ahli fiqih cuma ikut program gratis pekanan?

Halaqah itu bukan itu. Disini yg dibina adalah fikrah & amal sekaligus. Membersihkan jiwa dari Syirik, mengajarkan hikmah2 yg ada dimana2.

Materi2 dasarnya adalah hal2 yg wajib setiap Muslim memahami & menjalankannya : mengenal Allah, mengenal Rasul, mengenal Islam dsb

Kalau datangnya bolong2; ana kuatir pemahaman yg lengkap ttg apa itu Islam menjadi kurang sempurna.

Sadarkah kita, murabbi/murabbiyah itu terkadang juga berat memberikan waktunya sekali sepekan untuk mendidik kita?

Sementara mereka juga sudah memberikan waktunya sekali sepekan untuk datang ke halaqah-nya sebagai mutarabbi ..

Sementara mereka jg punya banyak tuntutan dakwah dimana-mana. Membina ini itu, mendidik anak istrinya, mengurus keluarganya, mencari nafkah

Dia harus sering muncul di masyarakatnya. Aktif di lingkungannya, aktif di tempat kerjanya, aktif di DPRa & DPC-nya.

Dan kita yg enteng angot2an datang ini mencibirnya : MR ane gak ukhuwwahnya kuran.. Ane jarang masuk gak ditengokin.

Kalo ada ikhwan akhwat yg begini; ane pengen banget kasih cermin guede ke mukanya.

Lha elu, apa ngasih ongkos buat MR lu buat nengokin? Apa ngasih pulsa buat nelpon elu? Apa pernah elu bayar dia tiap liqo?

Kita-nya sendiri yg gak datang tanpa sebab, gak bilang2, wa la salam wa la kalam .. Siapa yg sebenarnya butuh halaqah itu? Kita atau MR?

Ada yg bilang : Maap bang ane jarang datang liqo. Ane lagi sibuk.. Dia kira MR-nya pengangguran apa?? Ane bilang ini penghinaan.

Ada yg bilang : Maap bang ane jarang datang liqo, lagi ngurusin anak. Dia kira MR-nya gak sayang anak apa? Dia kan juga punya anak.

Ada yg bilang : Maap bang ane jarang datang liqo, lagi ngurusin anak. Dia kira MR-nya gak sayang anak apa? Dia kan juga punya anak.

Tapi dia bela2in meninggalkan anak2nya sesaat demi menyampaikan dakwah kepada kita2 ini .. Kok ya gak bersyukur ..

Saya ceritakan beberapa pengalaman kawan2 saya tentan liqo..

Ada ummahat di Kaltim, liqonya beda kabupaten karena tempatnya belum ada. Pergi liqo naik kapal bawa 4 anak2nya yg masih kecil2.

Ada ikhwan di kota kecil di Sumbar, liqo harus ke Padang yg jaraknya 100 km. Dia tiap pekan nginap di Padang cuma untuk liqo.

Ada ustadz di Pekanbaru, diminta membuka dakwah di suatu kabupaten. Gak punya ongkos, dia tiap pekan pergi numpang truk buat ngisi liqo.

Ada temen liqo ane sendiri, dulu membina di Serang skrg lagi kuliah di Depok. Binaan2nya rela naik motor kerumahnya buat liqo sepekan sekali

Mereka gak mau dipindahin. Daripada bubar ditantang : ya sudah kalo maunya liqo sama ane; datang ente ke Ciputat. Eh beneran datang terus

Orang2 macam begini ini, yg setiap langkahnya menuntut ilmu selalu diiringi doa oleh mahluq2 Allah ..

Eeeh kita2 datang liqo males2an. Trus mengeluh : kok ummat Islam ini gak menang2 ya? Ya gimana mau menang? Yg sudah sadar aja males2an.

Dateng liqo males2an; trus bilang : Ane gak dapet apa2 di liqoan. Ya gimana mau dapet kalo datang aja bolong2??

Ane gak marah .. Cuman bahasanya ane tegasin biar yg dateng liqo males2an bisa sadar.

Dulu ane pernah "debat" sama mantan ikhwah. Dia banyak menyerang pandangan2 ikhwan ttg suatu masalah. Ternyata 1 masalahnya : dia suka bolos

Ya kalo suka bolos, lalu jadi nggak paham manhaj-nya, lalu menyalahkan manhaj itu .. Itu sih menurut ane jahil murakkab .. kebodohan kuadrat

Menyalahkan manhaj --> itu jahil. Karena gak paham --> itu jahil. Gak paham karena bolos melulu --> itu jahil.

Ada mantan ikhwan yg bilang "Ane mau liqo kalo murabbi-nya kayak DR.Hidayat Nur Wahid" .. emang lu siapee? (^o^)

DR.Hidayat Nur Wahid cuma 1. DR.Surahman cuma 1. Ust. Rahmat Abdullah cuma 1 & sudah wafat. Kalau hanya mereka yg membina, mau sekuat apa?

Dia ternyata liqo selama itu masih gak paham juga, bahwa liqo itu bukan semata thalabul'ilmi. Liqo itu ta'akhy; persaudaraan,

Ust.Rahmat Abdullah (alm) dulu pernah cerita; di Medan th 90-an, ada tukang becak yg jadi murabbi bagi seorang doktor.

So what? Apakah seorang doktor harus selalu lebih mulia dibanding tukang becak? Apakah dia tak bisa belajar apapun dari tukang becak?

Udah dulu yak  @copas